Pacitan. Itulah tujuan yang terbersit di pikiran penulis ketika
berkunjung ke Yogyakarta, Mei 2013 silam. Sebelumnya nama kota ini sudah
sering terdengar di berita. Kota ini adalah ibukota Kabupaten Pacitan,
Provinsi Jawa Timur. Pacitan terletak di pantai selatan Pulau Jawa,
menghadap ke samudera Hindia. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu
kabupaten paling barat dan lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan ke
ibukota Provinsi, Surabaya.
Setidaknya
ada empat akses menuju kota Pacitan. Akses yang paling utama adalah
dari Kota Solo, ke selatan melalui Wonogiri dan Batu. Kondisi jalan saat
ini sangat mulus dan lebar, dengan jarak sekitar 90 km. Terdapat
bis-bis besar yang melayani rute ini. Akses kedua adalah melalui
Yogyakarta ke tenggara melewati kota Wonosari dan Pracimantoro, dan
bertemu dengan jalan raya Solo-Pacitan. Kondisi jalan sampai Wonosari
sangat bagus, namun antara Wonosari-Pracimantoro-pertigaan jalan Raya
Solo-Pacitan sedikit berlubang-lubang. Menurut beberapa sumber, terdapat
mobil travel minibus yang melayani rute ini. Rute ketiga adalah melalui
Surabaya-Madiun-Ponorogo-Pacitan. Terdapat juga bis-bis besar yang
melayani trayek ini. Rute terakhir adalah melalui kabupaten lain di
selatan Pulau Jawa, Trenggalek.
Sampai di
Yogyakarta dari Jakarta, saya segera bertemu dengan Devi Purba, saudara
sepupu mahasiswi Universitas Katolik Atma Jaya, Yogyakarta. Devi segera
menyarankan untuk menyewa sepeda motor, untuk riding ke Pacitan. Cukup
berbekal KTP dan kartu langganan, Devi segera mendapat sepeda motor
sewaan dengan tarif Rp 50.000 per 24 jam. Cukup gampang prosedurnya dan
terjangkau harganya. Kami memilih Honda Revo 100CC, sepeda motor jenis
bebek. Cukup banyak pilihan yang tersedia, terutama jenis matic.
Jummat
malam pukul 21:30 WIB kami memulai perjalanan dari sekitar jembatan
layang Panti, Yogyakarta. Menurut referensi, dibutuhkan waktu 3,5 jam
non stop ke Pacitan lewat Wonosari dan Pracimantoro. Kami melalui jalan
ring road selatan mengarah ke barat, di perempatan besar kedua berbelok
ke selatan, menuju Wonosari. Jalanan datar dengan melewati beberapa
perempatan besar, tetapi di depan kami samar-samar terlihat perbukitan
dengan kelap-kelip lampu. Sekitar 30 menit berkendara, jalanan mulai
menanjak, seperti jalan raya puncak di Bogor. Dan sungguh kejutan,
sekitar puncak bukit terdapat lokasi memandang ke bawah, ke bagian
selatan Yogyakarta. Sungguh indah pemandangan di bawah sana dengan
ribuan lampu rumah-rumah penduduk. Anak-anak muda sangat ramai
duduk-duduk di sana, diselingi penjual jajanan seperti jagung bakar.
Penjaga parkiran memberitahu kami bahwa wilayak itu masuk Kabupaten
Bantul, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta (DIY). Setelah beristirahat
sekitar 15 menit, kami melanjutkan perjalanan ke Wonosari.
Gerbang Pacitan |
Sekitar 45 menit perjalanan dari tempat kami beristirahat tadi, kami segera tiba di pertigaan jalan raya Solo-Pacitan. Jalannya luar biasa bagus, memang pantas menuju kampungnya Pak SBY. Karena takut kepagian sampai di pantai, kami istirahat sejenak di daerah Punuk. Devi main komputer di warnet yang ada, sementara saya tidur di bangku emperan. Waktu menunjukkan pukul 02:30 pagi
Jam 04:30 pagi kami
melanjutkan perjalanan. Menjelang turunan kota Pacitan terdapat
pertigaan. Kita bisa mengambil belokan ke kanan yang merupakan jalur
bus, atau lurus. Kami mengambil jalan yang lurus. Jalanan menurun
sekitar 45 derajat, dan aha, di kejauhan terlihat pantai dan kota
Pacitan. Jam 05:15 kami telah memasuki kota. Kotanya terlihat tenang,
teratur dan rapi, dilengkapi dengan penunjuk jalan.
Melihat petunjuk Pantai Talang Ria, kami segera berbelok ke kanan. Mampir sebentar di ATM dan SPBU, kami pelan-pelan meneruskan perjalanan. Hebat, ada toko khusus di pinggir jalan menjual daging sapi. Dengan bertanya ke penduduk, kami segera berbelok ke kiri. Dan akhirnya sampai lah kami di Pantai Talang Ria. Sinar matahari kemerahan sudah muncul di ufuk timur. Sudah ada beberapa orang yang mendahului kami di pantai. Ada yang tiduran dengan kasur lipat, ada yang jogging.
Jalan raya terdapat sepanjang pantai, sekitar 50 m dari bibir pantai. Di samping jalan raya terdapat gubug-gubug permanen tempat peristirahatan. Antara jalan raya dan pantai terdapat pasir dan rerumputan. Kurang rapi menurut saya. Ketika kami sampai di pantai, warna air juga sedikit keruh dan ketinggian ombak sedang. Sayang ada tulisan dilarang berenang. Menurut informasi, pantai Pacitan ini sangat digemari oleh peselancar karena ketinggian ombak lautnya yang sesuai. Di sini sendiri terdapat penginapan dan warung menjual makanan.
Keluar dari lokasi pantai,
kami berjalan memutar menyebrangi muara sungai menuju tempat pelelangan
ikan. Ketika kami tiba, sayang tidak ada aktivitas pelelangan, mungkin
sudah usai. Kami kemudian meneruskan perjalanan memeriksa terminal bis
dan pasar. Di pasar, saya segera memasuki bagian penjualan ikan laut,
kegemaran saya. Luar biasa banyaknya ikan segar, tongkol/cakalang, kakap
merah, dan sebagainya. Kami kemudian mengelilingi kota mencari sarapan.
Kotanya tidak terlalu besar. Kami segera menemukan warung rumahan yang
menjual pecel madiun, dan ikan laut digulai. Ditemani segelas kopi,
sungguh nikmat sekali.
Satu yang membuat kami penasaran adalah di
mana rumah Pak SBY. Penduduk memberitahu kami bahwa rumah beliau ada di
sisi kanan jalan menuju ke Pantai Talang Ria. Kami segera menemukan
rumah tersebut, yang dilengkapi papan nama. Rumah yang di dekat jalan
raya sepertinya rumah baru dan sudah modern, dilengkapi teras yang
sangat bagus. Rumah aslinya terletak di belakang, dimasuki dengan jalan
memutar. Di gerbang rumah tersebut terdapat mushola. Halamannya sangat
luas, dan itu dia rumahnya, rumah khas Jawa Timur beratap genteng,
dengan tinggi plafon sangat rendah. Penjaga rumah mempersilahkan kami
masuk.
Rumah SBY |
Setelah puas menikmati rumah tersebut,
sekitar jam 10:00 pagi, kami bergerak meninggalkan kota Pacitan kembali
ke Jogja dengan rute yang sama dengan berangkat. Di perjalanan kami
menikmati pemandangan yang tidak bisa kami lihat waktu berangkat. Tanah
berbukit-bukit menyerupai kerucut, pohon-pohon jati, dan sebagainya.
Melewati Pracimantoro kami melihat pipa air minum besar sepanjang jalan.
Menjelang perbatasan Jawa Tengah-DIY, hujan turun. Kami segera beristirahat di gubuk yang ada di pinggir jalan, di perkampungan. Seorang nenek menggendong cucunya berumur sekitar 1,5 tahun datang. Kami segera terlibat dalam perbincangan yang hangat, campuran bahasa Jawa dan Indonesia. Si Ibu bercerita kondisi di sana, harus membeli air tawar dari Praci, sekitar Rp 100.000 per bulan untuk keperluan rumah tangga, dan jika punya ternak, bisa mencapai Rp 300.000. Pipa yang dibangun tadi diharapkan mengalirkan air tawar dari pegunungan ke desa-desa nantinya. Si Ibu juga bercerita, hujan yang masih turun di bulan Mei menyulitkan warga memanen kacang kedelai. Saya tertegun, daerah ini yang biasa kekurangan air tawar, bermasalah dengan musim hujan berkepanjangan. Tapi yang penting, kami sangat menikmati kampung tersebut, disertai hempusan angin sepoi-sepoi. Sungguh mahal suasana begini di Jakarta.
Sekitar
30 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Mampir di rumah makan
pinggir jalan, dengan menu belalang dan gulai kulit sapi. Sekitar jam
14:00 kami kembali memasuki kota Jogja. Sampai bertemu kembali, Gunung
Kidul-Pracimantoro-Pacitan. MP. Terimakasih