Touring Membelah Banten : Bayah-Muara Binuangeun-Cibaliung
Libur panjang lebaran 2013 akan tiba, lebih kurang empat hari
pada tanggal 8-11 Agustus. Selain mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri
kepada teman-teman dan saudara-saudara yang merayakan, ya turut menikmati
liburannya. Disuasana musim macet jalanan dan padat di lokasi wisata, pilihan
yang paling bagus adalah touring dengan sepeda motor ke tempat terpencil.
Kalau melihat di peta Pulau Jawa, salah satu daerah yang
paling terisolir (remote area) adalah Muara Binuangeun, biasa disingkat
Binangeun saja. Kota ini terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, arah
tenggara Pulau Jawa, menghadap ke Samudera Indonesia. Posisi di peta tersebut
sudut kiri bawah, arah jam 7, salah satu kota paling barat di daerah selatan Pulau
Jawa.
Saya sendiri termasuk penikmat pantai-pantai selatan Pulau
Jawa. Mulai dari Pacitan di Jawa Timur, Parang Tritis dan Cilacap/Nusakambangan
di Jawa Tengah, Pangandaran dan Pelabuhan Ratu di Jawa Barat, serta Sawarna dan
Bayah di Banten. Binangeun ini termasuk salah satu daerah yang belum pernah
kami kunjungi. Bagi saya, suasana pantai selatan yang berombak dengan laut
birunya, sangat eksotik.
Kami segera mem-plot rute perjalanan. Ada beberapa rute yang
bisa menghubungkan daerah utara dan selatan Pulau Jawa di Jawa Barat dan
Banten. Rute tersebut seperti Bogor-Sukabumi-Pelabuan Ratu (atau melalui jalan
potong Cikijing), Cipanas-Citorek-Warung Banten-Bayah, Warung Gunung-Cileles-Malingping-Bayah,
Saketi-Gunung Kencana-Malingping-Bayah dan Labuan-Cibaliung-Binuangeun. Kami
memutuskan melalui rute-rute tersebut di atas yang belum pernah,Bogor-Jasinga-Cipanas-Citorek-Warung
Banten-Bayah-Binuangeun dan pulangnya Binangeun-Cibaliung-Labuan-Rangkas
Bitung-Cipanas-Jasinga-Bogor.
Berangkat
Di lebaran hari pertama, Kamis 8 Agustus, saya dan dua
sepupu Rido/Adi berangkat dari Kota Bogor pukul 2330 dengan menggunakan satu
sepeda motor Honda Revo dan satu sepeda motor matic Honda Vario. Kami melalui
Jalan Baru, Terminal Bubulak dan berbelok ke kanan menuju Darmaga, kampus IPB.
Berikutnya melalui Ciampea dan Kota Leuwiliang. Jalanan cukup lebar dan mulus.
Di kiri-kanan jalan banyak terdapat kilang penggergajian kayu (shaw mill).
Hanya saja, kayu yang ditumpuk saya lihat agak kecil, beberapa ada yang
seukuran betis kaki orang dewasa. Saya enggak tau apa ini untuk papan atau
balok kusen/rangka atap bangunan.
Selepas Cigudeg, jalanan sedikit rusak dan bergelombang,
tetapi kemudian bagus lagi. Di sebelah kanan ada pertigaan menuju Parung
Panjang-Tangerang. Setelah melalui perkebunan kelapa sawit, kami kemudian
memasuki Kota Jasinga, dan menemukan patung singa di tengah kota. Jangan
mengambil jalan ke kanan, karena itu akan menuju ke Tenjo-Tangerang. Kami
segera berbelok ke kiri menuju Cipanas. Jalanan sangat bagus, berliku dan
terdapat lampu penerangan jalan. Hati-hati di sebelah kiri ada bagian jalan
yang longsor, yang sedang di cor. Beberapa saat kemudian, kami memasuki wilayah
Provinsi Banten. Sekitar pukul 0130, kami tiba di lokasi pemandian air panas,
Cipanas. Lokasi pemandian ini buka 24 jam, dengan harga tikket masuk sebesar Rp
10.000, kata penduduk. Tapi kami hanya beristirahat, mengopi dan makan mie
instant. Pedagang juga menjual gula merah (gula Jawa), yang di cetak berbentuk
dua bagian tempurung kelapa, seharga Rp 10.000 per kg. Kata si Akang pedagang,
ini adalah asli gula aren. Sesuai dengan keterangan penduduk, kami istirahat
menunggu pagi, tiduran di saung-saung (gubuk) pedangan.
Menjelang subuh, suhu udara sangat dingin (taksiran saya
20-22 derajat Celcius). Azan subuh ditandai dengan bunyian seperti suara
sirene. Pukul 0530, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa ratus meter di depan,
ada pertigaan dengan tulisan Warung Gunung ke arah kiri, kami segera berbelok
ke kiri. Jalanan cukup rapi dengan bentuk rumah-rumah agak modis untuk ukuran
bukan kota. Jalanan bergantian menanjak dan menurun, melalui beberapa desa. Di
puncak salah satu tanjakan, kami tertegun memandang pegunungan masih berkabut,
dengan beberapa kampung yang diterangi lampu listrik di bahunya. Saya teringat
suasana Genting di Malaysia. Kami segera melewati Sungai Ciberang, yang
terkenal dengan wisata arung jeramnya.
Di lokasi perladangan penduduk, ada saung di pinggir jalan. Kami segera
beristirahat menikmati sarapan yang kami bawah dari rumah.
Selepas itu, jalanan naik turun mulai rusak, dan selanjutnya
betuk-betul rusak, jalan yang terdiri dari batu-batu besar, bekas jalan
ber-aspal yang aspalnya telah terkelupas. Hamparan sawah terdapat di kiri-kanan
jalan, sampai ke lengan bukit-bukit, dengan tanah berwarna merah di pinggirnya.
Di saat lebaran ini kami melihat banyak sekali spanduk bertuliskan calong
anggota legislatif (caleg) atau pasangan pilkada, disertai foto-foto para calon.
Kami segera memasuki Kampung Citorek, yang menurut tulisan di gerbangnya
merupakan desa adat. Sepertinya ini musim panen padi. Penduduk hanya
menggantungkan tangkai-tangkai padi yang telah di tuai, digantungan dari kayu
di pinggir jalan. Sunggu indah melihat tangkai- tangkai padi dengan bulir yang
cukup besar, tergantung indah di pinggir jalan. Kami juga melihat
lumbung-lumbung padi berbentuk rumah-rumah kecil. Walaupun masih dalam suasana
lebaran hari kedua, tetapi penduduk sepertinya sudah kembali bekerja. Agak sedikit
kaget kami melihat bongkahan tanah berwarna pink, tidak tau apa karena tanah
tersebut mengandung emas. Memang kami melihat mesin-mesin penyaring emas di
rumah-rumah penduduk, yang terus berputar dan di siram air.
Jalan Gunung Halimun
Jalanan semakin rusak dan terus mendaki membelah anak Gunung
Halimun, yang merupakan bagian dari lokasi Taman Nasional Gunung Salak-Halimun.
Jalanan yang berbatu-batu kasar tanpa aspal sangat menyulitkan kami. Tapi
penduduk setempat sepertinya telah terbiasa dengan memilih jenis ban yang
sesuai. Tapi sungguh segar dan alami, tanpa suara kendaraan bermotor, suara
pesawat terbang, dan sinyal telepon seluler.
Setelah melewati puncak gunung, kami segera menemukan jalan
yang di cor beton. Dengan kondisi jalan mulus dan menurun, serasa di jalan
toll. Tetapi setelah beberapa kilo meter, kembali kami memasuki jalan rusak.
Setelah mengisi bensin dengan bensin eceran di salah satu kampung kecil,
jalanan kembali mendaki dan tetap rusak. Saya sempat terjatuh karena motor
mundur, tidak kuat menanjak. Melewati puncak gunung, jalanan menurun panjang
sekali, tidak habis-habis nya. Kami sudah melewati beberapa jembatan kecil yang
sedang diperbaiki. Di jurang sebelah kiri jalan mengalir sungai Cimandur. Kita
harus hati-hati, silap sedikit, akan ke jatuh ke jurang. Sungguh menyegsarakan,
endless.
Akhirnya, kami memasuki jalan beraspal mulus, Kampung
Cipicung. Seusai mengopi, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa saat, kami
menemukan pertigaan, ke kiri menuju Pelabuhan Ratu dan ke kanan menuju Bayah.
Kami segera mengambil jalan ke kanan, berliku tapi cukup bagus. Kami melewati
Warung Banten dan Cikotok, yang terkenal dengan pertambangan emas nya Antam.
Akhirnya pada pukul 1400, kami memasuki Kota Bayah. Ada pertigaan, ke kiri
menuju Sawarna, tapi kami mengambil arah ke kanan. Beberapa ratus meter di
depan, kami berbelok ke kiri lagi menuju pantai. Kami segera istirahat dan tidur
di pantai ini, sambil mendengarkan bunyi ombak laut.
Pukul 16.00, kami melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju
Malingping. Perut terasa lapar, tapi karena masih dalam suasana lebaran, warung
makan masih pada libur. Yang buka hanya penjual rujak, karedok dan baso. Ketika
mengisi bensin di penjual ketengan, si pemilik warung menawarkan kami makan.
Tapi mendengar lauknya adalah daging kerbau, kami segera menolak secara halus
sambil senyum-senyum. Jujur, saya belum pernah makan daging kerbau, dan
terbayang bentuk kerbau yang kuat dan kokok menarik bajak di sawah. Penduduk
tersebut menceritakan, bahwa mereka patung (patungan maksudnya), sekitar 10kk,
untuk membeli dan menyembelih seekor kerbau seharga seharga Rp 10.000.000.
Untungnya, kami segera menemukan warung ikan bakar yang cukup bagus. Dua ekor
ikan kembung dan seekor ikan talang (ikan kembung besar) bakar segera masuk ke
perut, dengan tiga jenis sambal dan lalapan. Cukup membayar Rp 50.000 semuanya.
Di pertigaan Tipang, kami berbelok ke kiri menuju Binuangeun
(arah terus menuju Malingping). Sekitar pukul 19.00, kami tiba di Binangeun.
Segera berbelok ke kiri menuju pantai wisata. Kebetulan pantai ramai dengan
pasar malam dan musik dangdut yang di putar kuat-kuat. Suara ombak, laut yang
gelap, angin yang berhembus dari luat meniup pohon-pohon kelapa, lampu perahu
di nelayan di kejauhan dan kelap-kelip bintang di lagit, menciptakan suatu
malam yang sempurna. Kami tertidur di saung-saung pedagang, diiringi lagu-lagu
dangdut.
Pantai Muara Binuangeun
Kembali
Pukul 0530, kami begerak, memasuki pasar Binuangeun. Setelah
sarapan di salah satu warung, kami segera meninjau pasar ikan. Sungguh senang
melihat ikan-ikan di pajang di lantai untuk di jual. Ada ikan cakalang
(tongkol), baby tuna, cumi-cumi, udang, dan banyak lagi lainnya. Setelah puas,
kami segera melanjutkan perjalanan ke Cibaliung melalui Cikeusik. Laut selatan
kami tinggalkan, dengan hamparan sawah dan tanah datar di kiri-kanan jalan.
Kampung Cikeusik ini sempat masuk pemberitaan belum lama ini, kalau tidak
salah, mengenai agama. Sekitar satu setengah jam, kami memasuki kota Cibaliung.
Di perempatan, kami berbelok ke kanan menuju Labuhan. Kalau lurus, akan menuju
Desa Sumur yang terkenal sebagai gerbang menuju Taman Nasional Ujung Kulon dan
Pulau Panaitan.
Kebun jati milik Perhutani menyertai perjalanan kami
selanjutnya. Melewati Kampung Mahendra dan Cigeulis, kami tiba di Kampunf
Citeureup. Ada pertigaan, belok kiri menuju lokasi resort Tanjung Lesung yang
terkenal itu. Kami segera berbelok ke kanan menuju Labuhan. Kami melewati
Panimbang, yang menurut berita, akan dibangun bandara di sini. Di Labuhan, kami
melihat lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Setelah beristirahat
sebentar, kami segera berbelok ke kanan menuju Pandeglang. Jalanan cukup macet
dengan mobil dan sepeda motor. Sekitar dua jam kami sampai di Pandeglang, ibukota
Kabupaten Pandeglang, setelah beberapa berbelok mengikuti papan penunjuk jalan,
berbelok ke kiri, menuju Rangkas Bitung.
Rangkas Bitung adalah ibukota Kabupaten Lebak. Kami segera
mengelilingi kota, mengambil arah ke kanan menuju Bogor. Kalau lurus menuju
Cikande dan Jakarta. Jalanan lumayan bagus, berliku, dengan perkebunan kelapa
sawit di kiri-kanan jalan. Kami mampir makan diwarung pinggir jalan.
Sekitar pukul 1530, kami kembali tiba di Cipanas. Rencana
berendam air panas batal karena hujan dan ramainya pengunjung. Sejam kemudian, kami
segera melanjutkan perjalanan menuju Bogor melewati Jasinga-Leuwiliang, melalui
jalan sewaktu berangkat. Pukul 1900 kami tiba di kota Bogor dengan selamat.
Istirahat, menerawang membayangkan penduduk di kampung-kampung yang kami
lewati. Selamat lebaran bagi mereka. MP.