31 Juli 2013

Berkunjung Ke Pacitan, Tempat Kelahiran Presiden SBY

Pacitan. Itulah tujuan yang terbersit di pikiran penulis ketika berkunjung ke Yogyakarta, Mei 2013 silam. Sebelumnya nama kota ini sudah sering terdengar di berita. Kota ini adalah ibukota Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Pacitan terletak di pantai selatan Pulau Jawa, menghadap ke samudera Hindia. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten paling barat dan lebih dekat ke Jawa Tengah dibandingkan ke ibukota Provinsi, Surabaya.

Faktor lain yang membuat Pacitan terkenal adalah kota ini merupakan tempat kelahiran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tokoh nasional lain yang berasal dari sini adalah Dr. Haryono Suyono, mantan Menteri Kependudukan di masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Akses menuju Pacitan

Setidaknya ada empat akses menuju kota Pacitan. Akses yang paling utama adalah dari Kota Solo, ke selatan melalui Wonogiri dan Batu. Kondisi jalan saat ini sangat mulus dan lebar, dengan jarak sekitar 90 km. Terdapat bis-bis besar yang melayani rute ini. Akses kedua adalah melalui Yogyakarta ke tenggara melewati kota Wonosari dan Pracimantoro, dan bertemu dengan jalan raya Solo-Pacitan. Kondisi jalan sampai Wonosari sangat bagus, namun antara Wonosari-Pracimantoro-pertigaan jalan Raya Solo-Pacitan sedikit berlubang-lubang. Menurut beberapa sumber, terdapat mobil travel minibus yang melayani rute ini. Rute ketiga adalah melalui Surabaya-Madiun-Ponorogo-Pacitan. Terdapat juga bis-bis besar yang melayani trayek ini. Rute terakhir adalah melalui kabupaten lain di selatan Pulau Jawa, Trenggalek.

Memulai Perjalanan

Sampai di Yogyakarta dari Jakarta, saya segera bertemu dengan Devi Purba, saudara sepupu mahasiswi Universitas Katolik Atma Jaya, Yogyakarta. Devi segera menyarankan untuk menyewa sepeda motor, untuk riding ke Pacitan. Cukup berbekal KTP dan kartu langganan, Devi segera mendapat sepeda motor sewaan dengan tarif Rp 50.000 per 24 jam. Cukup gampang prosedurnya dan terjangkau harganya. Kami memilih Honda Revo 100CC, sepeda motor jenis bebek. Cukup banyak pilihan yang tersedia, terutama jenis matic.
Jummat malam pukul 21:30 WIB kami memulai perjalanan dari sekitar jembatan layang Panti, Yogyakarta. Menurut referensi, dibutuhkan waktu 3,5 jam non stop ke Pacitan lewat Wonosari dan Pracimantoro. Kami melalui jalan ring road selatan mengarah ke barat, di perempatan besar kedua berbelok ke selatan, menuju Wonosari. Jalanan datar dengan melewati beberapa perempatan besar, tetapi di depan kami samar-samar terlihat perbukitan dengan kelap-kelip lampu. Sekitar 30 menit berkendara, jalanan mulai menanjak, seperti jalan raya puncak di Bogor. Dan sungguh kejutan, sekitar puncak bukit terdapat lokasi memandang ke bawah, ke bagian selatan Yogyakarta. Sungguh indah pemandangan di bawah sana dengan ribuan lampu rumah-rumah penduduk. Anak-anak muda sangat ramai duduk-duduk di sana, diselingi penjual jajanan seperti jagung bakar. Penjaga parkiran memberitahu kami bahwa wilayak itu masuk Kabupaten Bantul, Provinsi Daerah Istemewa Yogyakarta (DIY). Setelah beristirahat sekitar 15 menit, kami melanjutkan perjalanan ke Wonosari.
 
Sekitar 30 menit dari tempat perhentian tadi, kami memasuki kota Wonosari. Wonosari merupakan ibukota Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DIY. Kota ini sangat rapi dan teratur, dengan hawa lebih sejuk. Sungguh memberikan suatu suasana berbeda, dibandingkan dengan pengalaman di Jogja selama ini. Memang banyak orang membayangkan hal-hal yang ekstrim di Gunung Kidul, seperti sumber mata air yang sangat susah, pegunungan kapur dan kebiasaan makan belalang. Tapi menurut saya tidak begitu, setidaknya daerahnya masih hijau dengan pepohonan. Konon juga pantai-pantainya sangat indah, khas selatan Pulau Jawa.

Melewati pagelaran wayang kulit dengan gamelannya di pusat kota, kami bergerak ke tenggara menuju Pracimantoro. Untungnya, papan penunjuk arah sangat jelas di perjalanan. Walaupun demikian, sebaiknya tetap bertanya ke penduduk untuk mencari informasi yang lebih baik. Seperti di perempatan pinggiran kota Wonosari, arah Pracimantoro jelas ditunjukkan ke arah kanan, tetapi penduduk menyarankan mengambil jalan lurus. Kami mengikuti saran tersebut. Jalanan sangat sepi dan gelap, tidak ada perumahan di kiri kanan jalan, hanya pepohonan. Untung ada kendaraan pribadi di depan kami, yang bisa kami ikuti. Jalanan mulai mendaki dan menurun, berbelok-belok dan sedikit berlubang. Banyak pertigaan ke kanan yang menunjukkan nama pantai dan gua. Kami segera melewati perbatasan Propinsi DIY dan Propinsi Jawa Tengah, dan sekitar satu jam berkendara kami tiba di Pracimantoro (Praci). Praci adalah bagian selatan Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 60 km ke ibu kota kabupaten, Kota Wonogiri, di sebelah utara Praci. Dengan bertanya kepada penduduk, kami mengambil jalan lurus di dua perempatan besar. Sekitar jam 01:00 pagi, kami berhenti di warung pinggir jalan yang buka, makan nasi lauk telur asin dan ikan, ditemani kopi.  Pemilik warung menerangkan, jarak ke Pacitan sekitar 60 km lagi. Mereka juga menerangkan kondisi jalanan aman, tidak perlu kwatir berkendara di malam hari. Setelah beristirahat sekitar 20 menit, kami kembali melanjutkan perjalanan dengan kondisi jalanan kembali mendaki dan kondisi gelap. Akhirnya, di lokasi paling atas suatu bukit kami menemui papan nama gerbang selamat datang bertuliskan "Selamat datang di Kabupaten Pacitan, tempat kelahiran Presiden SBY". Ini berarti kami telah memasuki wilayah Propinsi Jawa Timur. Sungguh luar biasa, menempuh tiga propinsi dalam satu malam yang sama. Devi segera berfoto di gerbang tersebut.

Gerbang Pacitan
  Sekitar 45 menit perjalanan dari tempat kami beristirahat tadi, kami segera tiba di pertigaan jalan raya Solo-Pacitan. Jalannya luar biasa bagus, memang pantas menuju kampungnya Pak SBY. Karena takut kepagian sampai di pantai, kami istirahat sejenak di daerah Punuk. Devi main komputer di warnet yang ada, sementara saya tidur di bangku emperan. Waktu menunjukkan pukul 02:30 pagi

Jam 04:30 pagi kami melanjutkan perjalanan. Menjelang turunan kota Pacitan terdapat pertigaan. Kita bisa mengambil belokan ke kanan yang merupakan jalur bus, atau lurus. Kami mengambil jalan yang lurus. Jalanan menurun sekitar 45 derajat, dan aha, di kejauhan terlihat pantai dan kota Pacitan. Jam 05:15 kami telah memasuki kota. Kotanya terlihat tenang, teratur dan rapi, dilengkapi dengan penunjuk jalan.

Melihat petunjuk Pantai Talang Ria, kami segera berbelok ke kanan. Mampir sebentar di ATM dan SPBU, kami pelan-pelan meneruskan perjalanan. Hebat, ada toko khusus di pinggir jalan menjual daging sapi. Dengan bertanya ke penduduk, kami segera berbelok ke kiri. Dan akhirnya sampai lah kami di Pantai Talang Ria. Sinar matahari kemerahan sudah muncul di ufuk timur. Sudah ada beberapa orang yang mendahului kami di pantai. Ada yang tiduran dengan kasur lipat, ada yang jogging.


Jalan raya terdapat sepanjang pantai, sekitar 50 m dari bibir pantai. Di samping jalan raya terdapat gubug-gubug permanen tempat peristirahatan. Antara jalan raya dan pantai terdapat pasir dan rerumputan. Kurang rapi menurut saya. Ketika kami sampai di pantai, warna air juga sedikit keruh dan ketinggian ombak sedang. Sayang ada tulisan dilarang berenang. Menurut informasi, pantai Pacitan ini sangat digemari oleh peselancar karena ketinggian ombak lautnya yang sesuai. Di sini sendiri terdapat penginapan dan warung menjual makanan.



Keluar dari lokasi pantai, kami berjalan memutar menyebrangi muara sungai menuju tempat pelelangan ikan. Ketika kami tiba, sayang tidak ada aktivitas pelelangan, mungkin sudah usai. Kami kemudian meneruskan perjalanan memeriksa terminal bis dan pasar. Di pasar, saya segera memasuki bagian penjualan ikan laut, kegemaran saya. Luar biasa banyaknya ikan segar, tongkol/cakalang, kakap merah, dan sebagainya. Kami kemudian mengelilingi kota mencari sarapan. Kotanya tidak terlalu besar. Kami segera menemukan warung rumahan yang menjual pecel madiun, dan ikan laut digulai. Ditemani segelas kopi, sungguh nikmat sekali.


Satu yang membuat kami penasaran adalah di mana rumah Pak SBY. Penduduk memberitahu kami bahwa rumah beliau ada di sisi kanan jalan menuju ke Pantai Talang Ria. Kami segera menemukan rumah tersebut, yang dilengkapi papan nama. Rumah yang di dekat jalan raya sepertinya rumah baru dan sudah modern, dilengkapi teras yang sangat bagus. Rumah aslinya terletak di belakang, dimasuki dengan jalan memutar. Di gerbang rumah tersebut terdapat mushola. Halamannya sangat luas, dan itu dia rumahnya, rumah khas Jawa Timur beratap genteng, dengan tinggi plafon sangat rendah. Penjaga rumah mempersilahkan kami masuk.

Rumah SBY
Ruang utama rumah di penuhi dengan foto-foto kegiatan Presiden Yudhoyono, dengan judul: Presiden juga manusia. Kami menikmati foto-foto tersebut. Rumah itu sepertinya mempunyai dua atau tiga kamar. Penjaga membawa saya ke kamar paling kiri sambil berkata, ini adalah kamar Pak SBY. Saya segera masuk, mengamat dengan takjub. Kamar tersebut hanya berukuran sekitar 2x3 m2, dilengkapi dengan dipan besi, kasur, bantal, meja kecil dan lemari. Saya duduk di dipan tersebut sambil berpikir dengan tinggal di kamar begini, Pak SBY bisa jadi presiden ke-6 republik ini. Iseng-iseng saya berharap, semoga bisa menjadi presiden ke-9 juga nantinya.

Setelah puas menikmati rumah tersebut, sekitar jam 10:00 pagi, kami bergerak meninggalkan kota Pacitan kembali ke Jogja dengan rute yang sama dengan berangkat. Di perjalanan kami menikmati pemandangan yang tidak bisa kami lihat waktu berangkat. Tanah berbukit-bukit menyerupai kerucut, pohon-pohon jati, dan sebagainya. Melewati Pracimantoro kami melihat pipa air minum besar sepanjang jalan.


Menjelang perbatasan Jawa Tengah-DIY, hujan turun. Kami segera beristirahat di gubuk yang ada di pinggir jalan, di perkampungan. Seorang nenek menggendong cucunya berumur sekitar 1,5 tahun datang. Kami segera terlibat dalam perbincangan yang hangat, campuran bahasa Jawa dan Indonesia. Si Ibu bercerita kondisi di sana, harus membeli air tawar dari Praci, sekitar Rp 100.000 per bulan untuk keperluan rumah tangga, dan jika punya ternak, bisa mencapai Rp 300.000. Pipa yang dibangun tadi diharapkan mengalirkan air tawar dari pegunungan ke desa-desa nantinya. Si Ibu juga bercerita, hujan yang masih turun di bulan Mei menyulitkan warga memanen kacang kedelai. Saya tertegun, daerah ini yang biasa kekurangan air tawar, bermasalah dengan musim hujan berkepanjangan. Tapi yang penting, kami sangat menikmati kampung tersebut, disertai hempusan angin sepoi-sepoi. Sungguh mahal suasana begini di Jakarta.



Sekitar 30 menit kemudian kami melanjutkan perjalanan. Mampir di rumah makan pinggir jalan, dengan menu belalang dan gulai kulit sapi. Sekitar jam 14:00 kami kembali memasuki kota Jogja. Sampai bertemu kembali, Gunung Kidul-Pracimantoro-Pacitan. MP. Terimakasih