04 September 2013

Berkunjung ke Kampung Lokkung, kampung asal Purba Sigumonrong Yang di Marubun Lokkung 

Salah satu kampung tempat marga Purba Sigumonrong berada (native) adalah di Desa Marubun Lokkung dan kampung-kampung sekitarnya, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun, Sumatera. Terdapat puluhan Keluarga Sigumonrong di sini, dan dulu mereka mempunyai beberapa Pangulu (semacam Kepala Desa) dan 1 Pangulu Hoop (semacam Raja Kecil). Desa Marubun Lokkung sendiri berada di Simalungun Jahe-jahe (bawah), di ujung barat laut Kabupaten Simalungun, berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Serdang Bedagai atau Kabupaten Karo di kejauhan.

Lalu dari mana keluarga Sigumonrong ini berasal? Menurut cerita, mereka berasal dari Kampung Lokkung, Nagori (Desa) Dalig Raya, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Konon dari Kampung Lokkung mereka merantau mencari lahan perkampungan/pertanian yang lebih luas ke arah Simalungun bawah. Pertama-tama mereka merantau ke Kampung Cingkes, sekarang Nagori (Desa) Cingkes, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun. Kampung ini dekat dengan ibu kota kecamatan, Saran Padang. Dari sini sebagian merantau lagi ke daerah lebih hilir, Kampung Marubun tadi. Mungkin karena mereka berasal dari Kampung Lokkung tadinya, mereka mengubah nama Marubun menjadi Marubun Lokkung tadi.

Walaupun demikian penulis dan sebagian besar keluarga Sigumonrong di Marubun Lokkung belum pernah berkunjung ke Kampung Lokkung. Beruntung, salah satu botou (saudara perempuan) kami boru Purba Sigumonrong, Eka Magdalena, menikah dengan calon lae (ipar laki-laki) kami marga Haloho, dari Kampung Lokkung. Kebetulan pemberkatan gereja dan acara adat dilakukan di kampung tersebut tanggal 3 September 2013 lalu. Maka disusunlah rencana perjalanan sekaligus napak tilas.

Perjalanan dimulai dari Terminal 3 Bandara Soekarno-Hatta Jakarta pada tanggal 2 September 2013 pukul 21:00 WIB, dengan menumpang pesawat Airbus A-320 Indonesia Air Asia. Saya dan sepupu, Adi Purba, mendarat di Bandara Kuala Namu Deli Serdang yang baru sekitar tengah malam. Setelah beristirahat sebentar di ibu kota Kabupaten Deli Serdang, Lubuk Pakam, kami menuju rumah keluarga di Galang, Kecamatan Galang, masih di Deli Serdang.

Pukul 05:00 rombongan keluarga telah siap berangkat dengan beberapa mobil. Penulis memutuskan berangkat dengan sepeda motor supaya lebih bebas. Keluarga dari Marubun Lokkung, Togur dan Negeri Dolok juga mulai berangkat dengan mobil dan sepeda motor. Kami terus berkomunikasi dengan telepon seluler antara rombongan.

Setelah mengisi bensin di Ujung Kampung, Galang, saya berkendaraan pelan menyusuri kebun karet dan sawit ke arah selatan, melewati Simpang Kotari. Walaupun kondisi jalan gelap tanpa penerangan, tapi kondisi aspal jalan cukup bagus dan sesekali bertemu pengendara lain. Ketika hujan gerimis datang, penulis terpaksa berhenti sebentar, sampai hujan reda. Setelah melewati titi bosi (jembatan baja) Sungai Ular, saya memasuki wilayah Kabupaten Serdang Bedagai, melewati Kota Dolok Masihol serta persimpangan ke Negeri Dolok. Perkebunan rakyat terhampar di sisi kiri-kanan jalan. Sekitar pukul 07:00 saya sudah memasuki Kota Tebing Tinggi, salah satu kota besar yang dipimpin walikota di Sumatera Utara. Kota ini ditandai oleh pabrik pengeringan karet. Melewati persimpangan ke Sindar Raya, saya meneruskan perjalanan kembali ke Selatan, kembali memasuki wilayah Kabupaten Serdang Bedagai. Kali ini perkebunan negara yang menghiasi kiri-kanan jalan. Beberapa saat kemudian saya memasuki wilayah Kabupaten Simalungun, melewati beberapa lokasi perkebunan. Diantaranya adalah Bah Bajambi di mana pada 1993 silam pernah penulis kunjungi dalam rangka Kirab Remaja Nasional.

Akhirnya penulis memasuki Kota Pematang Siantar pada pukul 08:30, kota nomor dua di Sumatera Utara yang dipimpin oleh wali kota. Dulu kota ini adalah ibukota Kabupaten Simalungun sebelum dipindahkan ke Pematang Raya. Melewati pusat kota dan kompleks militer Dodikpur Rindam I/BB, berbelok ke kanan di Timbangan menuju arah Seribu Dolok. Penulis kemudian kembali memasuki wilayah Kabupaten Simalungun. Mobil minibus penumpang jurusan Kaban Jahe-Seribu Dolok-Pematang Siantar-Tanjung Balai terlihat beberapa kali melintas. Melewati Kampung Panei/Panei Tongah, Sirpang Sigodang, Sondi Raya, beberapa kampung dengan suku kata "Raya" dan akhirnya tiba di ibu kota Kabupaten Simalungun, Pematang Raya. Kota ini merupakan kota pendidikan di Simalungun dan tempat di mana injil Kristen mulai disebarkan di Simalungun pada tahun 1903 oleh penginjil Jerman, Pendeta August Theis.

Setelah mandi dan berganti baju di sebuah SPBU kecil, penulis kemudian sarapan mie gomak, gorengan dan the susu panas di Sirpang Dalig Raya. Sungguh nikmat, ditambah suhu udara yang sedang agak dingin. Penduduk terlihat menggiling kopi, menjemur pipilan jagung serata membuat keranjang dari bambu. Setelah berkendaraan sekitar 2 km, penulis berbelok kanan di Sirpang Pangaltoan. Penulis terlihat menanam kopi pendek (maaf, mereka menamakan Kopi Ateng atau Kopi Sibayar Utang  karena cepat panen). Tanaman lain yang menarik perhatian penulis adalah pohon aren, sepertinya pohon aren jenis genjah (pendek).

Setelah beberapa saat, penulis berbelok ke kiri sesuai arahan penduduk yang dilewati. Jalanan menurun, sepertinya baru ditraktor, melewati sungai. Di persimpangan jalan tadi sudah ada tambal ban dengan merek "Sigonrong", mungkin kependekan dari Sigumonrong. Tapi di mana Kampung Lokkung nya? Rupanya kampung tersebut berada di lembah (holbung), bukan di ketinggian bahu bukit atau dataran (hanopan) sebagai mana kampung di Simalungun biasanya berada. Lega rasanya akhirnya tiba tepat pukul 10:00 dan langsung mengikuti acara pemberkatan nikah di gereja GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) setempat.


Huta Lokkung i daerah Raya

Huta (kampung) Lokkung sendiri dihuni oleh beberapa keluarga. Walaupun marga Purba Sigumonrong sebagian berasal dari kampung sini, marga-marga penduduknya sendiri telah bercampur dengan marga lain. Kami menjumpai seorang bapak tokoh Sigumonrong dan seorang ibu boru Sigumonrong yang memberikan cerita tentang kampung ini. Di kampung ini terdapat satu sekolah SD, SD GKPS. Terasa damai di sini dan bangga bisa mengunjungi kampung asal Purba Sigumonrong yang kini berada di Marubun Lokkung sekitarnya.

Setelah selesai beberapa acara adat, kami dan beberapa keluarga dari Marubun Lokkung sekitarnya bersiap untuk pulang dengan rombongan sepeda motor. Sewaktu berangkat, mereka melalui rute Marubun Lokkung-Gunung Meriah-Saran Padang-Dolok Maraja-Lokkung, dengan kondisi jalan sangat jelek antara Gunung Meriah-Saran Padang. Kali ini kami berencanakan melalui Negeri Dolok.

Setelah melalui jalan tanah menanjak keluar dari Kampung Lokkung, kami berbelok ke kiri. Kami kemudian melewati Kampung Kariahan. Selanjutnya semacam petualangan adventure atau touring: jalan rusak, menurun, sedikit mendaki, sungai tanpa jembatan dan hutan. Kami bersusah payah melewatinya, kadang harus mendorong sepeda motor atau tergelincir. Sepertinya kami menuruni bukit atau anak gunung, berarti Kampung Lokkung tadi sebetulnya beranda di ketinggian.



Jalan Kariahan-Parapat Luan-Simanabun-Dolok Marawa-Bahoan-Pulu Raya-Bangun

Akhirnya kami tiba di Kampung Parapat Luan, wilayah Kecamatan Silau Kahean. Di kampung Simanabun, kame berbelok kiri memotong ke Dolok Marawa, tidak melewati ibu kota kecamatan Silau Kahean, Negeri Dolok. Lahan kiri-kanan jalan ditanami kelapa sawit dan karet oleh penduduk. Inilah pertama kali saya ke Simanabun dan Dolok Marawa ini.

Kami kemudian melewati lokasi wisata pemandian air panas/belerang Tinggi Raja, wisata alam berbasis vulkanik. Selanjutnya kami tiba di Kampung Bahoan. Melalui jalan yang sedang dibangun, kami melalui Kampung Pulu Raya, Bangun Baru, melewati Bah Banei dan akhirnya tiba di jalan raya Lubuk Pakam-Seribu Dolok. Sebagian berbelok ke kanan menuju Marubun Lokkung dan sebagian berbelok ke kiri menuju Togur. Jalan raya beraspal tersebut terasa sebagai jalan tol. Catatan: berikut beberapa yang ikut rombongan motor ini; Minsen Saragih, Jonni Purba, Raja Saragih, Jasa Saragih, Jonjuwi Saragih, Mutiara Ginting dan keluarga, Mawan Damanik. MP.

20 Agustus 2013


Jalan Raya Medan-Deli Tua-Tiga Jugar-Marjandi Gunung Meriah 


Saya telah menulis di blog ini sebelumnya tentang salah satu permasalahan di Desa Marubun Lokkung dan Togur. Masyarakat hanya bisa bergerak dan berinteraksi secara lancar di antara kampung-kampung dan kota-kota kecil sepanjang Jalan raya Lubuk Pakam-Seribu Dolok, dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Secara matematika, pergerakan itu hanya dua arah sepanjang satu garis linear sepanjang sumbu x, bukan pergerekan empat arah di bidang koordinat x-y. Berbeda dengan desa-desa di Jawa, di mana penduduknya bebas bergerak ke utara, selatan, barat dan timur, dengan ukuran jalan yang sama besar di persilangannya. Jadi kehidupan penduduk, apalagi bagi kawula muda, lebih menarik dengan adanya pergerakan yang lebih bebas ini.

Kembali ke Marubun Lokkung dan Togur, memang di samping Jalan raya Lubuk Pakam-Seribu Dolok, ada lagi dua jalan raya sejajar di sebelah kiri dan kanan. Jalan-jalan tersebut adalah jalan raya Negeri Dolok-Simpang Kerapu-Dolok Masihol-Galang-Lubuk Pakam dan jalan raya Gunung Meriah-Marjandi-Tiga Juhar-Deli Tua-Medan. Akan tetapi tidak ada jalan menyilang yang layak yang bisa menghubungkan ketiga jalan tersebut di atas.

Untunglah, ada berita menggembirakan terakhir-terakhir ini. Negeri Dolok dan Marubun Lokkung telah terhubung secara menyilang dengan dikembangkannya Jalan Negeri Dolok-Dolok Marawa-Bahoan-Pulo Raya-Bangun Baru-Marubun Lokkung. Jadi untuk mobil dengan kemampuan tertentu (penggerak empat roda misalnya), tidak perlu lagi berputar melalui Galang.

Berita yang lebih besar lagi adalah telah diresmikannya jembatan Lau Luhung yang dilalui jalan raya Marjandi Gunung Meriah-Tiga Juhar-Deli Tua-Medan. Dengan demikian diharapkan masyarakat sekitar Gunung Meriah dan Marubun Lokkung mempunyai jalan akses yang lain ke Medan selain melalui Lubuk Pakam. Masyarakat Marubun Lokkung sekitarnya juga bisa beranjang sana ke Tiga Juhar. Penulis mau bercerita tentang jalan ini.

Di mulai dari kota Medan. Di sekitar Jalan SM Raja, ke arah selatan, kita mencari arah ke Deli Tua. Deli Tua adalah kota kecamatan dan sudah mulai masuk ke dalam wilayah Kabupaten Deli Serdang. Masyarakat di sini dan di kampung-kampung yang lain ke arah hulu kebayakan terdiri dari sub etnik Batak Karo, dan berbicara dalam Bahasa Karo. Terus ke hulu kita akan menemukan lokasi wisata pemandian Sungai Sibiru-biru. Jalan ini sebetulnya sejajar juga dengan jalan raya Medan-Pancur Batu-Berastagi-Kabanjahe, tetapi dibatasi oleh pegunungan/perbukitan dan lembah. Akhirnya kita tiba di kota Tiga Juhar, ibukota Kecamatan Sinembah Tanjung Muda (STM) Hulu. Di sini ada pertigaan, ke kiri/timur arah ke Kota Bangun Purba, dan terus ke arah Gunung Meriah. Terus terang, saya sendiri belum pernah menempuh jalur Medan sampai Tiga Juhar atau Tiga Juhar ke Bangun Purba ini.



Untuk rute Tiga Juhar-Gunung Meriah, baru kali ini juga saya melewatinya. Tapi kami mulai dari arah Gunung Meriah. Perjalanan kami mulai dari Desa Togur, bersama adik Juli Purba, mengendarai sepeda motor. Kami bergerak ke arah hulu/atas jalan raya Lubuk Pakam-Seribu Dolok, melewati Kampung Sipinggan Pasar, Tanjung Bayu, Pintuangin menyeberangi sungai Bah Buaya, Gunung Manuppak dan Marjandi Pamatang. Antara Kampung Togur dan Kampung Sippinggan terletak perbatasan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Deli Serdang. Kondisi jalan masih mulus, tapi ada longsor di kiri-kanan jalan. Jalanan berkelok di Pintuangin menjelang sungai Bah Buaya, mirip seperti jalanan di Puncak, Bogor, Jawa Barat. Kami melewati beberapa bangunan gereja seperti gereja GKPS dan gereja GBKP.

Di Marjandi Pamatang, kami berbelok ke kanan, melewati Marjandi Tongah. Gedung SMP dan SMA negeri terdapat di sebelah kanan jalan. Kondisi jalan beraspal, terkelupas dibeberapa bagian. Kaki gunung terlihat ditanami kelapa sawit dan beberapa tanaman pertanian lain. Kondisi jalanan kemudian mendaki dan menurun, dengan kondisi jalan berbatu tanpa beraspal. Sungai-sungai kecil berbatu-batu yang jernih mengalir di kiri kanan jalan. Di kaki bukit, kami melihat beberapa penduduk memecah-mecah batu gunung yang besar dengan palu.

Kampung Tanjung Raja 

Kami melewati beberapa kampung di tepi jalan, tapi saya lupa nama dan urutannya, seperti Tanjung Muda, Tanjung Raja dan Tanjung Timur,. Ada sekitar dua jembatan di sungai kecil yang sedang diperbaiki. Akhirnya kami tiba di jembatan modern yang baru di resmikan, yang telah diidam-idamkan penduduk, jembatan sungai Lau Luhung. Konon, transportasi dan pengembangan jalan antara Gunung Meriah dan Tiga Juhar tidak bisa berkembang sebelumnya, karena jurang lembah Lau Luhung ini. Lau Luhung sendiri di dalam bahasa Karo berarti sungai lembah/palung, yang menggambarkan kedalaman lembah tersebut, yang mungkin lebih dari 100 m. Selama ini, hanya terdapat jembatan gantung berlantai papan di sana, yang hanya bisa dilalui orang, sepeda motor dan mobil kecil, sambil bergoyang. Dengan dibangunnya jembatan beton beraspal yang lebar ini, disertai pembangunan beberapa jembatan di sungai-sungai kecil, diharapkan jalan raya tersebut bisa diperbaiki. Rancangan jembatannya sendiri secara teknik sipil sangat bagus. Jika selama ini jembatan diperkuat dengan rangka baja atas, maka jembatan ini ditopang oleh rangka baja bawah.



Kami akhirnya memasuki kampung Durian Tinggung, Buluh Nipis, Parsikkean dan akhirnya kota Tiga Juhar. Tiga Juhar sendiri sudah cukup ramai, dengan bangunan pasar/los pekan terdapat di tengah kota. Transportasi mini bus ke kota lain serta becak motor terdapat di sini. Hari pasar atau pekan (dalam bahasa Karo disebut tiga) adalah hari Rabu. Kami kemudian makan mie goreng sambil beristirahat. Di sini terdapat taman wisata danau air panas Linting, semacam situ di Jawa Barat, tetapi airnya panas dari panas bumi.

Ketika mau pulang kami mengambil jalan pintas melalui Parsikkean-Juma Saran-Marubun Lokkung. Jalanan ini hanya bisa dilalui kendaraan sepeda motor, melalui perkebunan rakyat. Kami melalui lagi sungai Bah Buaya yang secara alami merupakan perbatasan antara Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Selepas itu, terdapat Kampung Juma Saran, salah satu dusun di Desa Marubun Lokkung, yang hanya terdiri dari beberapa rumah. Kemudian kami melalui sungai kecil Bah Guyap, lokasi perkebunan rakyat Siporkas, sungai Bah Topu dimana terdapat lokasi pemandian pancuran dari mata air, serta akhirnya Desa Marubun Lokkung di jalan raya Lubuk Pakam-Seribu Dolok. Sungguh menyenangkan, akhirnya bisa melewati rute ini untuk pertama kali. MP

13 Agustus 2013


Touring Membelah Banten : Bayah-Muara Binuangeun-Cibaliung 


Libur panjang lebaran 2013 akan tiba, lebih kurang empat hari pada tanggal 8-11 Agustus. Selain mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada teman-teman dan saudara-saudara yang merayakan, ya turut menikmati liburannya. Disuasana musim macet jalanan dan padat di lokasi wisata, pilihan yang paling bagus adalah touring dengan sepeda motor ke tempat terpencil.

Kalau melihat di peta Pulau Jawa, salah satu daerah yang paling terisolir (remote area) adalah Muara Binuangeun, biasa disingkat Binangeun saja. Kota ini terletak di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, arah tenggara Pulau Jawa, menghadap ke Samudera Indonesia. Posisi di peta tersebut sudut kiri bawah, arah jam 7, salah satu kota paling barat di daerah selatan Pulau Jawa.

Saya sendiri termasuk penikmat pantai-pantai selatan Pulau Jawa. Mulai dari Pacitan di Jawa Timur, Parang Tritis dan Cilacap/Nusakambangan di Jawa Tengah, Pangandaran dan Pelabuhan Ratu di Jawa Barat, serta Sawarna dan Bayah di Banten. Binangeun ini termasuk salah satu daerah yang belum pernah kami kunjungi. Bagi saya, suasana pantai selatan yang berombak dengan laut birunya, sangat eksotik.

Kami segera mem-plot rute perjalanan. Ada beberapa rute yang bisa menghubungkan daerah utara dan selatan Pulau Jawa di Jawa Barat dan Banten. Rute tersebut seperti Bogor-Sukabumi-Pelabuan Ratu (atau melalui jalan potong Cikijing), Cipanas-Citorek-Warung Banten-Bayah, Warung Gunung-Cileles-Malingping-Bayah, Saketi-Gunung Kencana-Malingping-Bayah dan Labuan-Cibaliung-Binuangeun. Kami memutuskan melalui rute-rute tersebut di atas yang belum pernah,Bogor-Jasinga-Cipanas-Citorek-Warung Banten-Bayah-Binuangeun dan pulangnya Binangeun-Cibaliung-Labuan-Rangkas Bitung-Cipanas-Jasinga-Bogor.

Berangkat
Di lebaran hari pertama, Kamis 8 Agustus, saya dan dua sepupu Rido/Adi berangkat dari Kota Bogor pukul 2330 dengan menggunakan satu sepeda motor Honda Revo dan satu sepeda motor matic Honda Vario. Kami melalui Jalan Baru, Terminal Bubulak dan berbelok ke kanan menuju Darmaga, kampus IPB. Berikutnya melalui Ciampea dan Kota Leuwiliang. Jalanan cukup lebar dan mulus. Di kiri-kanan jalan banyak terdapat kilang penggergajian kayu (shaw mill). Hanya saja, kayu yang ditumpuk saya lihat agak kecil, beberapa ada yang seukuran betis kaki orang dewasa. Saya enggak tau apa ini untuk papan atau balok kusen/rangka atap bangunan.

Selepas Cigudeg, jalanan sedikit rusak dan bergelombang, tetapi kemudian bagus lagi. Di sebelah kanan ada pertigaan menuju Parung Panjang-Tangerang. Setelah melalui perkebunan kelapa sawit, kami kemudian memasuki Kota Jasinga, dan menemukan patung singa di tengah kota. Jangan mengambil jalan ke kanan, karena itu akan menuju ke Tenjo-Tangerang. Kami segera berbelok ke kiri menuju Cipanas. Jalanan sangat bagus, berliku dan terdapat lampu penerangan jalan. Hati-hati di sebelah kiri ada bagian jalan yang longsor, yang sedang di cor. Beberapa saat kemudian, kami memasuki wilayah Provinsi Banten. Sekitar pukul 0130, kami tiba di lokasi pemandian air panas, Cipanas. Lokasi pemandian ini buka 24 jam, dengan harga tikket masuk sebesar Rp 10.000, kata penduduk. Tapi kami hanya beristirahat, mengopi dan makan mie instant. Pedagang juga menjual gula merah (gula Jawa), yang di cetak berbentuk dua bagian tempurung kelapa, seharga Rp 10.000 per kg. Kata si Akang pedagang, ini adalah asli gula aren. Sesuai dengan keterangan penduduk, kami istirahat menunggu pagi, tiduran di saung-saung (gubuk) pedangan.

Menjelang subuh, suhu udara sangat dingin (taksiran saya 20-22 derajat Celcius). Azan subuh ditandai dengan bunyian seperti suara sirene. Pukul 0530, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa ratus meter di depan, ada pertigaan dengan tulisan Warung Gunung ke arah kiri, kami segera berbelok ke kiri. Jalanan cukup rapi dengan bentuk rumah-rumah agak modis untuk ukuran bukan kota. Jalanan bergantian menanjak dan menurun, melalui beberapa desa. Di puncak salah satu tanjakan, kami tertegun memandang pegunungan masih berkabut, dengan beberapa kampung yang diterangi lampu listrik di bahunya. Saya teringat suasana Genting di Malaysia. Kami segera melewati Sungai Ciberang, yang terkenal dengan wisata arung jeramnya.  Di lokasi perladangan penduduk, ada saung di pinggir jalan. Kami segera beristirahat menikmati sarapan yang kami bawah dari rumah.

Selepas itu, jalanan naik turun mulai rusak, dan selanjutnya betuk-betul rusak, jalan yang terdiri dari batu-batu besar, bekas jalan ber-aspal yang aspalnya telah terkelupas. Hamparan sawah terdapat di kiri-kanan jalan, sampai ke lengan bukit-bukit, dengan tanah berwarna merah di pinggirnya. Di saat lebaran ini kami melihat banyak sekali spanduk bertuliskan calong anggota legislatif (caleg) atau pasangan pilkada, disertai foto-foto para calon. Kami segera memasuki Kampung Citorek, yang menurut tulisan di gerbangnya merupakan desa adat. Sepertinya ini musim panen padi. Penduduk hanya menggantungkan tangkai-tangkai padi yang telah di tuai, digantungan dari kayu di pinggir jalan. Sunggu indah melihat tangkai- tangkai padi dengan bulir yang cukup besar, tergantung indah di pinggir jalan. Kami juga melihat lumbung-lumbung padi berbentuk rumah-rumah kecil. Walaupun masih dalam suasana lebaran hari kedua, tetapi penduduk sepertinya sudah kembali bekerja. Agak sedikit kaget kami melihat bongkahan tanah berwarna pink, tidak tau apa karena tanah tersebut mengandung emas. Memang kami melihat mesin-mesin penyaring emas di rumah-rumah penduduk, yang terus berputar dan di siram air.


Jalan Gunung Halimun 

Jalanan semakin rusak dan terus mendaki membelah anak Gunung Halimun, yang merupakan bagian dari lokasi Taman Nasional Gunung Salak-Halimun. Jalanan yang berbatu-batu kasar tanpa aspal sangat menyulitkan kami. Tapi penduduk setempat sepertinya telah terbiasa dengan memilih jenis ban yang sesuai. Tapi sungguh segar dan alami, tanpa suara kendaraan bermotor, suara pesawat terbang, dan sinyal telepon seluler.

Setelah melewati puncak gunung, kami segera menemukan jalan yang di cor beton. Dengan kondisi jalan mulus dan menurun, serasa di jalan toll. Tetapi setelah beberapa kilo meter, kembali kami memasuki jalan rusak. Setelah mengisi bensin dengan bensin eceran di salah satu kampung kecil, jalanan kembali mendaki dan tetap rusak. Saya sempat terjatuh karena motor mundur, tidak kuat menanjak. Melewati puncak gunung, jalanan menurun panjang sekali, tidak habis-habis nya. Kami sudah melewati beberapa jembatan kecil yang sedang diperbaiki. Di jurang sebelah kiri jalan mengalir sungai Cimandur. Kita harus hati-hati, silap sedikit, akan ke jatuh ke jurang. Sungguh menyegsarakan, endless.

Akhirnya, kami memasuki jalan beraspal mulus, Kampung Cipicung. Seusai mengopi, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa saat, kami menemukan pertigaan, ke kiri menuju Pelabuhan Ratu dan ke kanan menuju Bayah. Kami segera mengambil jalan ke kanan, berliku tapi cukup bagus. Kami melewati Warung Banten dan Cikotok, yang terkenal dengan pertambangan emas nya Antam. Akhirnya pada pukul 1400, kami memasuki Kota Bayah. Ada pertigaan, ke kiri menuju Sawarna, tapi kami mengambil arah ke kanan. Beberapa ratus meter di depan, kami berbelok ke kiri lagi menuju pantai. Kami segera istirahat dan tidur di pantai ini, sambil mendengarkan bunyi ombak laut.

Pukul 16.00, kami melanjutkan perjalanan ke arah barat menuju Malingping. Perut terasa lapar, tapi karena masih dalam suasana lebaran, warung makan masih pada libur. Yang buka hanya penjual rujak, karedok dan baso. Ketika mengisi bensin di penjual ketengan, si pemilik warung menawarkan kami makan. Tapi mendengar lauknya adalah daging kerbau, kami segera menolak secara halus sambil senyum-senyum. Jujur, saya belum pernah makan daging kerbau, dan terbayang bentuk kerbau yang kuat dan kokok menarik bajak di sawah. Penduduk tersebut menceritakan, bahwa mereka patung (patungan maksudnya), sekitar 10kk, untuk membeli dan menyembelih seekor kerbau seharga seharga Rp 10.000.000. Untungnya, kami segera menemukan warung ikan bakar yang cukup bagus. Dua ekor ikan kembung dan seekor ikan talang (ikan kembung besar) bakar segera masuk ke perut, dengan tiga jenis sambal dan lalapan. Cukup membayar Rp 50.000 semuanya.

Di pertigaan Tipang, kami berbelok ke kiri menuju Binuangeun (arah terus menuju Malingping). Sekitar pukul 19.00, kami tiba di Binangeun. Segera berbelok ke kiri menuju pantai wisata. Kebetulan pantai ramai dengan pasar malam dan musik dangdut yang di putar kuat-kuat. Suara ombak, laut yang gelap, angin yang berhembus dari luat meniup pohon-pohon kelapa, lampu perahu di nelayan di kejauhan dan kelap-kelip bintang di lagit, menciptakan suatu malam yang sempurna. Kami tertidur di saung-saung pedagang, diiringi lagu-lagu dangdut.

Pantai Muara Binuangeun

Kembali
Pukul 0530, kami begerak, memasuki pasar Binuangeun. Setelah sarapan di salah satu warung, kami segera meninjau pasar ikan. Sungguh senang melihat ikan-ikan di pajang di lantai untuk di jual. Ada ikan cakalang (tongkol), baby tuna, cumi-cumi, udang, dan banyak lagi lainnya. Setelah puas, kami segera melanjutkan perjalanan ke Cibaliung melalui Cikeusik. Laut selatan kami tinggalkan, dengan hamparan sawah dan tanah datar di kiri-kanan jalan. Kampung Cikeusik ini sempat masuk pemberitaan belum lama ini, kalau tidak salah, mengenai agama. Sekitar satu setengah jam, kami memasuki kota Cibaliung. Di perempatan, kami berbelok ke kanan menuju Labuhan. Kalau lurus, akan menuju Desa Sumur yang terkenal sebagai gerbang menuju Taman Nasional Ujung Kulon dan Pulau Panaitan.

Kebun jati milik Perhutani menyertai perjalanan kami selanjutnya. Melewati Kampung Mahendra dan Cigeulis, kami tiba di Kampunf Citeureup. Ada pertigaan, belok kiri menuju lokasi resort Tanjung Lesung yang terkenal itu. Kami segera berbelok ke kanan menuju Labuhan. Kami melewati Panimbang, yang menurut berita, akan dibangun bandara di sini. Di Labuhan, kami melihat lokasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Setelah beristirahat sebentar, kami segera berbelok ke kanan menuju Pandeglang. Jalanan cukup macet dengan mobil dan sepeda motor. Sekitar dua jam kami sampai di Pandeglang, ibukota Kabupaten Pandeglang, setelah beberapa berbelok mengikuti papan penunjuk jalan, berbelok ke kiri, menuju Rangkas Bitung.

Rangkas Bitung adalah ibukota Kabupaten Lebak. Kami segera mengelilingi kota, mengambil arah ke kanan menuju Bogor. Kalau lurus menuju Cikande dan Jakarta. Jalanan lumayan bagus, berliku, dengan perkebunan kelapa sawit di kiri-kanan jalan. Kami mampir makan diwarung pinggir jalan.

Sekitar pukul 1530, kami kembali tiba di Cipanas. Rencana berendam air panas batal karena hujan dan ramainya pengunjung. Sejam kemudian, kami segera melanjutkan perjalanan menuju Bogor melewati Jasinga-Leuwiliang, melalui jalan sewaktu berangkat. Pukul 1900 kami tiba di kota Bogor dengan selamat. Istirahat, menerawang membayangkan penduduk di kampung-kampung yang kami lewati. Selamat lebaran bagi mereka. MP.