25 Oktober 2009

Tour Sumatera Utara - Bagian 1 : Uniknya Orang Sumut



Lanjutan Catatan Perjalanan di Sumatera Utara tgl 9-15 Oktober 2009 :

Jummat, 9 Oktober 2009 Jam 20:40 WIB di terminal 1A Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, Jakarta. Penulis sangat bergembira ketika panggilan boarding naik pesawat terbang tepat waktu. Ada kebanggaan tersendiri bisa menaiki seri pesawat terbaru Boeing 737-900ER nya Lion Air, yang sangat besar untuk ukuran keluarga Boeing 737. Lion Air mendapat kehormatan sebagai pengguna pertama seri pesawat ini dari perusahaan pesawat terbang Boeing, Amerika Serikat.

Jam 21:00 tepat pesawat take off. Terdengar pengumuman dari pramugari bahwa penerbangan ke Medan akan ditempuh dalam waktu 1 jam 55 menit di ketinggian 36,000 kaki (sekitar 12 km). Seingat penulis, sewaktu pertama kali naik pesawat belasan tahun yang lalu, penerbangan ini ditempuh 2 jam 10 menit di ketinggian 32,000-33,000 kaki. Suatu kemajuan. Salah satu buku mengenang tokoh Pahlawan Revolusi RI mendampingi penulis selama dalam penerbangan.

Kira-kira sekitar di atas kota Pematang Siantar, pesawat mulai terasa mulai menurun. Lampur-lampu perumahan mulai kelihatan. Tepat waktu, pesawat mendarat di Bandara Internasional Polonia, Medan. Walaupun dikatakan bandara internasional, tetapi tidak terdapat garbarata (jembatan naik ke pesawat) di sini. Para penumpang diangkut menggunakan 2 buah bus besar menuju terminal kedatangan. Ruang terminal kedatangan pun hanya terlihat seperti sebuah bangsal besar, dengan 2 line conveyor belt di sana. Tidak terlihat ada trolley/kereta bagasi di sana. Mudah-mudahan, bandara baru Kuala Namu di Deli Serdang nantinya bisa betul-betul menjadi bandara internasional seperti KLIA di Kuala Lumpur atau Changi di Singapura (masing-masing kurang dari 1 jam penerbangan dari Medan!).

Keluar terminal, anggota keluarga Darma Sipayung dan Lomo Purba telah menunggu. Karena penulis belum makan malam, maka kita bersama berangkat ke daerah Pasar Petisah. Kami masuk ke dalam salah satu warung tenda di sana yang katanya sering dijadikan sebagai tempat mangkal anak muda. Menunya ? Luar biasa, ayam goreng penyet. Penulis sangat terkejut mendapatkan makanan ini, karena ini sama dengan makanan sehari-hari yang terdapat di Pulau Jawa. Semula penulis berharap mendapatkan menu khas Sumatera Utara seperti tahun 1990-an. Ayam goreng tanpa di-ungkep, mie sop, lontong sayur, pecal, dll. Tapi sepertinnya menu makanan di Jawa mulai menular ke sini. Dari segi makanan, memang Sumatera Utara sangat khas dan unik, yang tidak ada di daerah lain. Mie Sop misalnya, mie yang disiram dengan kuah sop dan potongan ayam, hanya ada di sini. Di daearah lain ada bakso, soto mie, mie ayam, dll, tapi rasanya tidak seperti mie sop. Demikian juga dengan pecal misalnya, beberapa jenis rebusan sayur (daun singkong, genjer, pepaya mentah, dll) si siram dengan sambal saus kacang, ditambah dengan kerupuk putih-merah, sangat istimewa. Mirip dengan gado-gado di daerah lain. Sementara di Jakarta, kalau kita memesan pecel lele atau pecel ayam, yang dihidangkan adalah lele atau ayam goreng, lengkap dengan sambal dan lalapan timun, kol dan daun kemangi. Mana pecelnya ?

Di samping makanan, orang-orang Sumatera Utara (Sumut) juga bertutur dengan logat yang khas. Mereka memakai Bahasa Indonesia dengan dialek Melayu Deli dan ditambakan beberapa kosa kata bahasa-bahasa daerah seperti Batak Toba, Karo atau Simalungun, serta bicara agak kuat volumenya. Sangat berbeda dengan dialek di Jakarta, tapi terasa enak, akrab dan hangat di dengar. Mereka juga memakai beberapa kosa kata yang "salah", seperti kereta untuk menyebut sepeda motor dan motor atau montor untuk menyebut mobil, pajak untuk menyebutkan pasar (tempat belanja) dan pasar untuk menyebutkan jalan raya. Jadi di Medan, banyak terdapat kereta masuk pasar.

Beberapa hal lain yang sangat unik di Sumut adalah beca sepeda motor (tempat penumpang di samping kiri, pengendara nya di sebelah kanan), roti ketawa dan roti bulan, limun dan orange (minuman botol), bonbon hek (permen pedas), dll. Ngangenin, kata orang Jawa. Selain itu, sudah jelas, Sumut merupakan surga bagi mereka yang bisa memakan makanan non halal (daging babi dan daging anjing). Sampai-sampai, rumah makan mengelompokkan diri menjadi rumah makan halal (di tulis di papan nama : Rumah Makan Islam) dan rumah makan umum. Penulis sempat berpikir ketika membaca papan nama tersebut, kalau di daerah lain menulis nama rumah makan begini bisa dianggap menyuburkan SARA. Tapi itulah Medan.

Sabtu tgl 10 Oktober jam 13:30, kami bergerak menuju Tarutung lewat Tanah Karo dan Tele menyusuri sisi barat Danau Toba. Kami mampir dulu di rumah makan Bapi Panggang Karo (BPK) di Padang Bulan. Luar biasa, babi panggang, sayur singkong, kincung, sambal dan sop. Sayang babi gulai cincang (lomok-lomok kata teman-teman kita dari Karo) sudah habis. Bersambung. MP.

Keterangan foto : makan siang di rumah makan BPK (Babi Panggang Karo), Padang Bulan, Medan. Menu yang datang baru sop...