06 Mei 2009

Perbincangan Dengan Edu Purba


Pada Minggu sore yang mendung dan hujan, 03 Mei 2009, penulis mendapat kesempatan berbincang-bincang dengan Eduater Purba Sigumonrong (Edu). Tua (Om) Edu merupakan salah satu putera terbaik Sigumonrong dari Marubun Lokkung yang berhasil di perantauan. Beliau sekarang berdomisili di Medan. Perbincangan dilakukan di salah satu restoran cepat saji (fast food) di Blok M, Jakarta Selatan.

Berikut adalah petikan perbincangan singkat dengan Tua Edu Purba dan penulis (Mikael Purba) :

Penulis : Horas Tua, selamat datang kembali di Jakarta. Bagaimana kabar dan
dalam rangka apa kunjungan ke Jakarta kali ini.

Tua Edu : Horas ambia. Kabar baik, demikian juga keluarga di Medan. Kebetulan ada urusan
pekerjaan.

Penulis : Menurut Tua Edu, apa saja kemajuan yang telah di dapat selama ini ?

Tua Edu : Banyak yang telah dicapai, tergantung dari segi mana kita melihatnya. Perlu
diingat bahwa tidak semua hal bisa dinilai dengan uang. Tidak hanya uang yang
menentukan kebahagiaan kita. Yang penting, bagaimana kita mampu dan mau
mengucap syukur atas segala pencapaian kita.

Penulis : Secara umum, bagaimana menurut Tua Edu tentang pencapaian anggota keluarga
kita di perantauan ?

Tua Edu : Secara umum baik. Bukan maksud untuk memperlambat, tapi penting juga bagi
kita untuk selalu mengingat asal-usul kita di Kampung. Kita harus mengingat
bahwa latar belakang keluarga kita tidaklah sehebat orang lain. Saya misalnya,
jabatan tertinggi orang tua saya adalah Pangulu (Kepala Desa), maka saya
sudah sangat bersyukur atas pencapaian yang saya dapat raih. Ini tentu beda
dengan nilai keberhasilan yang diraih dan dirasakan oleh seorang Kepala Dinas,
misalnya.

Penulis : Bagaimana Tua Edu mengamati kondisi di kampung kita ?

Tua Edu : Secara sosial sangat baik. Kita bisa melihat, begitu ada acara adat seperti
pernikahan dan kemalangan, semua mendukung sekuat tenaga. Masyarakat
juga sangat enjoy dengan acara hiburan seadanya seperti minum tuak dan marjagal.
Satu yang lebih penting adalah, masyarakat di kampung selalu terbuka dan apa
adanya, tidak pernah memakai topeng.

Secara ekonomi, tentu keadaan di kampung mengikuti keadaan di kota dan negara
kita keseluruhan. Tahun lalu, ketika harga komoditas pertanian seperti karet dan
kelapa sawit mencapat puncaknya, masyarakat sangat menikmatinya. Tetapi
sepanjang 2009 sampai sekarang, kondisi sangan berbeda. Harga karet misalnya,
di bulan April ini hanya di sekitar Rp 5.000 per kg, bandingkan dengan harga
tahun lalu yang mencapai Rp 12.000 per kg. Beruntung harga kelapa sawit sudah
mencapat sekitar Rp 1.000 - Rp 1.200 per kg tandan buah segar (TBS). Harga
terendah tahun ini adalah Rp 400 per kg tandan buah segar.

Penulis : Bagaimana perkembangan pemuda/pemudi di kampung ?

Tua Edu : Untuk bisa lebih maju lagi, saya kira jiwa merantau dan meningkatkan keahlian
(skill) harus lebih dikembangkan. Kita harus sadar, sumber daya dan daya tampung
kampung kita terbatas. Seandainya saja ada 100 pemuda/pemudi sekarang, dengan
asumsi semua menikah dengan orang dari luar kampung, maka kita harus
menyediakan 100 rumah dan 100 lahan meyadap karet (panderesan). Mampukah
kita ? Contoh yang lain, jika 1 keluarga mempunyai tanah 1 hektar, ketika dia
mempunyai anak laki-laki 3 orang, maka 1 orang anak hanya memperoleh 0,3
hektar tanah warisan. Begitu selanjutnya. Kalau tidak siap, generasi berikutnya
bisa-bisa hanya menjadi pekerja di lahan orang. Jadi, kita harus mempunyai
keahlian tambahan atau mencari lahan yang baru. Memang, masih seseorang
Tuhan yang menentukan. Tapi kita harus berusaha.

Penulis : Baik Tua, perbincangan kita sangat menarik. Kapan Tua kembali ke Medan ?

Tua Edu : Senin dan Selasa saya masih mempunyai kegiatan di Bekasi, Rabu saya akan
pulang ke Medan.

Penulis : Terima kasih atas waktu Tua dan pendapatnya.

Tua Edu : Sama-sama.

Tua Edu menamatkan SD nya di SD Negeri Marubun Lokkung, kemudian marantau ke kota
lain di Sumatera Utara untuk menempuh pendidikan menengah. Pendidikan tinggi diraihnya
dari Universitas Bandar Lampung pada tahun 1993. Setelah itu dia diterima di Bank Tabungan Negara (BTN) Cabang Bekasi, kemudian mutasi ke BTN Cabang Medan.

Dia merupakan anak pertama dari 5 bersaudara dari Alm Bapak Tarman Purba/Alm Inang br Saragih. Seperti di jelaskan di atas, orang tua beliau menjabat Kepala Desa di Marubun Lokkung (masih bergabung dengan Desa Togur) selama beberapa periode. Sementara Inang boru Saragih dikenal sebagai salah satu mantan guru SD Negeri Marubun Lokkung yang sangat handal.

Pada tahun 1998, Tua Edu menikah dengan Inang br Sumbayak. Sekarang mereka tinggal bahagia di Simalingkar Medan dan telah dikaruniai beberapa orang putera-puteri. MP

Catatan penulis : Perbincangan ini tidak direkam dengan tape recorder, jadi ada beberpa kalimat tidak sama persis dengan yang diucapkan Tua Edu.